BELALLEK BUDAYA SAMBAS Oleh: Nursilan, S.Pd Kepala Madrasah
BELALLEK
BUDAYA SAMBAS
Oleh: Nursilan, S.Pd
Kepala Madrasah
Belallek
adalah salah satu tradisi Sambas yang sampai sekarang masih terpelihara
keberadaannya, selain meringankan pekerjaan yang berat juga terdapat manfaat
yang lainnya seperti mempererat silaturahmi dan kebersamaan atau sesama.
Belallek
dilakukan pada waktu- waktu tertentu seperti pembajakan sawah dalam konteks,
nandur (menanam padi), merumput, beranyi (manen padi) dan sebagainya yang masih
berhubungan dengan sawah.
Di
desaku, budaya ini masih laris dikalangan awam. Bagi mereka yang sudah mapan
atau mampu tidak lagi turun ke sawah untuk hal seperti di atas melainkan
mengupah (membayar) orang lain untuk mengurusnya, ia hanya keluar uang sebagai
upah kerja. Namun bagi petani nyang perekonomian di bawah rata- rata karena
membuka lahan pertanian terutama berhuma luas dan tidak mampu untuk
menyelesaikannya sendiri atau sekeluarga karena mengejar target.
Target
tersebut berupa kesepakan bahwa, berhuma ada yang dinamakan dengan tahun kecil
dan besar. Maka petani harus mengejar target tersebut agar tidak ketinggalan
dengan petani yang lain.Dari pada itu mereka belallek untuk menyelesaikan agar
tidak ketinggalan.
Berbicara
tentang belallek, aku teringat dengan kisah sewaktu aku masih kecil berumur 7
tahun, kelas satu SD, saat itu orang tuaku masih bekerja sebagai petani. Aku
selalu di bawa ke sawah untuk ikut bersama.
Kalau
sudah hari Minggu, aku ikut bersama orang tuaku ke ladang, ikut mereka nandor,
nebas dan sebagainya. Namun aku tidaklah seperti mereka nebas, nandor hanya
ikut- ikutan saja (ngacau= mengganggu)
‘’Long, Umak dengan ayah nak paggi ke umme
tok e. Kau nak paggi ke daan. Umak yak lamak siang kallak barok balik. Nak
paggi ke daan?”, tanya Ibuku
“Ummak lamak ke?”, tanyaku balik.
“Aok, ummak lamak. Paggi jak i dengan ummak.
Kallak kau nagis daan bekawan, adekmu paggi juak tok be”, ajak ibuku lagi.
Aku
berpikir sejenak, kemudian menganggukkan kepala tanda setuju dengan ajakan
tersebut. Di dalam perjalanan, ibuku membawa tuggal (untuk menanam benih padi),
lalu membawa padi yang dibawanya menggunakan bakul (terbuat dari bambo yang di anyam).
Setibanya
di sawah, ibuku menuju dangau (tempat p;eristirahatan di huma), lalu aku dan
adikku disuruh duduk di dangau tersebut dan ibu bersama ayahku langsung menuju
tempat persemaian benih.
Karena
bosan di dangau, aku berlari menuju ibu dana ayahku. Mereka berteriak meliah
aku berlari menuju mereka.
‘’Usah
nak turun, kalak miang, ummak dengan
ayahmu agek ncamai tok e!”, teriak ibuku.
Tapi
aku masih saja berlari menuju mereka tanpa sedikitpun menghiraukan uteriakan
ibuku.
“Mak, along be, bosan di di dangau e, daan be
kawan”. Ucapku.
“Adekmu ke mane?”, tanya ibuku
“Ade di dangau, die maing oto”, jawabku
“Ngape tang daan maing dengan die”, tanya
ibuku lagi.
“Ndak , aku sitok jak, meliattek umak ncamai”,
jawabku.
“Mak, tok padi kite ke tok mak?”, tanyaku
“Bukan, padi urang tok e, ummak belallek”,
kata ibuku.
‘’O… mak, padi ape tok mak?”, tanyaku
lagi.
“Padi serandah tok e long”. Jawab ibuku
lagi.
Aku
hanya mengangguk saja karena seusiaku tujuh tahun dulu belum mengerti benar
dengan padi. Aku duduk bersila di atas karung goni di dekat ayahku nugal.
Ayahku nandor dan ibuku ngisi padi pada lubang yang telah ayahku tugal.
“Long ambekkan ayah aek di dangau”, pinta
ayahku.
“Aok yah”. Aku berlari menuju dangau.
Aku
lari- lari kecil dan pada saat itu juga aku mendengar teriakan Mok Kisma
manggil ibuku yang lagi ncamai.
“Da, padi ape yang kitak camaikan e?”,
tanyanya.
‘’O… padi serandah. Mok, itok jak bukan padi
kamek, Mok?, kamek belallek, dengan
Jang Ajer. Isok barok Jang Ajer ncamaikan padi kamek”, kata ibuku.
“Ngape tang belallek- belallek ye?”,
tanya Mok Kisma
“Isok be, rase nak saro’an?”, jawab
ibuku.
“Sarroan di mane ratinye?”, di tembeliong, uning Buyyong yo nak
pungtawar anaknye?”, kata ibuku.
“O…, dah dolok lah i…, aku pun nak ncamai
juak”. Mok Kisma mengakhiri pembicaraannya.
“Nek, ape yang dibakallek Jang Ajer di
rengkat e?”, tanya ayahku.
“Ntah be i.. tunggu dolok, aku meliatteknye”,
kata ibuku.
Setibanya
di dangau, ibukupun membuka rengkat yang di bungkus dengan saput tangan. Dan
kemudian membanya ke tempat penyemaian padi.
“Nah Ngah, ade ukal inti, kelappon dan ketupa
tok yo. Ngah makan dolok yo, minum ke”. Ajak ibku istirahat.
“Aoklah mun gayye”, kata ayahku sambil
merebahkan badannya di atas karong goni.
“Yei,,, nyaman lalu tok e kelapponnye?”,
kata ayahku.
“Makanlah pun nyaman e ?”, kata ibuku.
‘’Cit”, kelappon yang di makan ayahku
terpercik ke wajah ibu.
“Mane aek”, kate ayahku dan menyuruhku
mengambil air minum botol yang ada di belakang ibuku.
“Ha…”, ayah dan ibuku serta aku tertawa
berbahak- bahak dengan ekspresi masing- masing.
Tidak ada komentar